Minggu, 07 Desember 2008

फ्लेक्सिबिलिटी manajemen

The HP Way: An Application Using Deliberate and Emergent Corporate Cultures to Analyze Strategic Competitive Advantage
Stanley J. Kowalczyk, George W. Giusti

Presented by : John Agustinus

Keunggulan kompetitif pada dasarnya tidak hanya berlandaskan pada basis posisi, akan tetapi juga berbasis pada kapasitas. Salah satu elemen yang merupakan bagian dari basis kapasitas adalah budaya korporat. Dan selama ini yang selalu menjadi contoh bagaimana kekuatan sebuah budaya korporat adalah Hewlett-Packed (H-P). Dimana H-P merupakan perusahaan kelas dunia yang secara luas diakui karena kekuatan budaya korporatnya. Budaya korporat H-P disebut dengan H-P Way. Kita mengenal ada dua tipe strategi, yaitu deliberasi dan emergensi, serta terdapat pendapat bahwa budaya terdapat pada kedua level strategi tersebut. Dengan menggunakan sebuah instrument yang telah dibuat—the Organizational Culture Profile—penelitian ini mencoba mengukur kedua budaya pada beberapa divisi H-P. Dan hasil yang didapat menjelaskan bahwa terdapat budaya deliberasi tunggal yang tidak berbeda pada masing-masing divisi yang berbeda. Hal tersebut berbeda dengan hasil yang didapat pada budaya emergensi. Dimana ditemukan budaya emergensi yang berbeda pada masing-masing divisi H-P. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa persamaan dan perbedaan pada suatu budaya bukan hal yang menjadi beban akan tetapi justru seharusnya menjadi keuntungan tersendiri untuk mencapai kesuksesan.

Pendahuluan
Literature terkait strategi menyatakan bahwa strategi berdiri pada beberapa level, termasuk deliberasi dan emergensi (Mintzberg, 1978, 1989, 1994a, b; Thompson & Strickland, 1995, 1996; Boyd, Carrol & Dess, 1995). Penelitian ini mempunyai tiga tujuan: (i) untuk menyatakan bahwa terdapat sebuah hubungan antara budaya organisasi dan strategi organisasi, dan seperti halnya strategi, budaya juga berdiri pada beberapa level (termasuk deliberasi dan emergensi), (ii) untuk melakukan tes empiris argumen di atas yaitu dengan menilai budaya pada dua level di Hewlett-Packed Corporation (H-P), dan (iii) untuk menawarkan diskusi untuk pengembangan bahwa H-P Way merepresentasikan level budaya lain dan apakah konsisten atau tidak dengan penilaian empiris yang dilakukan.

Kajian Pustaka
Pada tahun 1990an, tujuan utama strategi perusahaan adalah mampu bersaing dalam keunggulan kompetitif terhadap pesaing globalnya (Hamel & Prahalad, 1989). Banyak variasi strategi yang telah dikembangkan dalam lingkungan perusahaan, termasuk pengendalian biaya, inovasi teknologi, dan penggunaan sumberdaya fisik (Porter, 1980). Namun demikian, beberapa strategi berbasis posisi tidak melangkah ke arah keunggulan kompetitif (Hamel & Prahalad, 1989, Barney, 1997). Lebih lanjut, metode yang paling penting mungkin terletak pada kapabilitas komplek organisasi secara sosial. Pandangan basis sumberdaya keunggulan kompetitif ini mengidentifikasi budaya korporat sebagai sebuah komponen penting keunggulan kompetitif strategi (Barney, 1991, 1997; Peeraf, 1993, Pfeffer, 1994). Sejumlah studi telah mengindikasikan bahwa keberadaan budaya yang mampu menyetir pilihan strategi memberikan sebuah karakteristik unik perusahaan (Barney, 1986; Prahalad & Hamel, 1990; Kotter & Heskett, 1992; Stalk, Evans & Shulman, 1992; Thompson & Strickland, 1995). Salah satu dari beberapa studi mengungkapkan bahwa sebuah “inovasi, adokrasi….sebagaimana H-P,” sebuah scenario strategi dominasi budaya sangat dimungkinkan (Mintzberg, 1989, pp217, 222). Pada kenyataannya, jika strategi diijinkan untuk mendominasi, organisasi akan menemui sebuah resiko budaya. Resiko budaya ini diartikan sebagai jarak antara strategi dan budaya. Beberapa situasi akan menciptakan sebuah ketidakunggulan kompetitif atau, kemungkinan, ketidakcocokan budaya dengan strategi (Schwartz & Davis, 1981; Barney, 1997).
Diantara sekian banyak sumberdaya yang dimiliki HP, budaya telah teruji secara luas. Meskipun terdapat sedikit bukti empiris, peneliti berkesimpulan bahwa budaya H-P begitu kuat dan terdefinisi dengan baik (Mintzberg, 1989; Kotter & Heskett, 1992). Pada kenyataannya, H-P telah merumuskan suatu budaya dengan mempublikasikan dokumen yang bernama The H-P Way, dengan nilai yang spesifik (kepercayaan dan penghargaan terhadap individu, focus pada level prestasi dan kontribusi yang tinggi, mengarahkan bisnis dengan integritas, pencapaian prestasi melalui tim kerja, fleksibilitas dan inovasi), sasaran (profit, pelanggan, interest, pertumbuhan, masyarakat, manajemen, kemasyarakatan), dan strategi (management by wandering around, management by objectives, open door policies, total quality control) (Hewlett-Packard, 1989). Dan setiap karyawan diberikan salinan prinsip-prinsip tersebut, serta manajemen dievaluasi berdasarkan atas bagaimana prinsip tersebut dipahami dan diikuti (Packard, 1995).
Dalam proses perumusan strategi organisasi, Mintzberg berpendapat bahwa proses dimulai dengan intended strategy. Strategi ini kemudian terbagi ke dalam dua subdivisi: unrealizaed strategy dan deliberate strategy. Sebagai tambahan, strategi lain tergabung dalam deliberate strategy. Strategi ini disebut sebagai emergent dan didefinisikan sebagai srtrategi yang tidak direncanakan oleh manajemen senior akan tetapi muncul dari karyawan yang non manajemen. Secara bersamaan, strategi deliberate dan emergent merupakan strategi realized perusahaan (Mintzber, 1978; Mintzber & McHugh, 1985; Green, 1988).

Hasil
Deliberate versus Emergent
Dari pengujian yang dilakukan terhadap deliberate dan emergent diindikasikan bahwa karyawan non manajemen secara umum merasakan adanya perbedaan budaya di H-P dibandingkan para manajer yang memang berusaha untuk melembagakannya. Hal ini menunjukkan bahwa budaya deliberate berbeda dengan budaya emergent pada setiap divisi.

Deliberate versus Deliberate
Dari pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa budaya deliberate tidaklah berubah-ubah ataupun tidak berbeda diantara divisi-divisi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya deliberate di empat divisi adalah sama.

Emergent versus Emergent
Dari hasil pengujian didapat bahwa terdapat perbedaan budaya emergent diantara divisi-divisi.

Intended versus Deliberate
Dari pengujian nampak bahwa terdapat beberapa persamaan antara budaya intended, yang direpresentasikan dalam H-P Way, dengan budaya deliberate.






Pembahasan
Adanya kekuatan dan kualitas budaya yang terdapat pada H-P menjadikan budaya mampu mendikte strategi. Budaya, seperti halnya strategi, eksis pada level yang berbeda pada sebuah organisasi—intended, deliberate, dan emergent. Pada masing-masing divisi, terdapat deviasi yang signifikan antara budaya deliberate dan budaya emergent. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya konsistensi pada budaya formal (deliberate) yang hal tersebut direpresentasikan oleh para manajer pada masing-masing divisi, dan budaya deliberate terlihat merefleksikan budaya intended, yaitu The H-P Way—suatu ungkapan yang memberi kesan karakteristik organisasi yang terbentuk oleh artikulasi formal (serta proses sosialisasi) filosofi dan budayanya. Sebagai tambahan, terdapat perbedaan yang signifikan antara budaya emergent pada masing-masing divisi.
Budaya yang bersifat formal yang kuat serta mengakar, baik intended maupun deliberate, pada akhirnya akan mampu mempengaruhi arah strategi perusahaan. Namun demikian bukan berarti budaya emergent harus diabaikan. Meskipun kedua budaya tersebut dalam satu sisi dapat menimbulkan percikan konflik akan tetapi keduanya harus terakomodasi dalam upaya menumbuhkan inovasi dalam organisasi.

Tidak ada komentar: